Hasni's Story Galery


Keluarga Mie Instant
Cerpen T. Wijaya


Sebuah keluarga dengan satu rumah di antara jutaan keluarga lainnya, menyukai mie instant. Setiap pagi, bapak, ibu, dan anak sarapan mie instant. Menjelang siang, di sekolah, di kampus, di tempat kerja, bahkan di dalam bus kota, keluarga ini makan mie instant. Dan, pada malam hari, mereka juga makan mie instant.

Hasan, anak tertua, mengaku menyukai mie instant karena menurut sahabatnya, Syamsul, mie instant selain gampang dibeli juga gampang dimasak, serta membantu pendapatan para buruh yang bekerja di pabrik mie instant. "Coba kalian renungkan. Kalau kita tidak membeli mie instant, bagaimana nasib para buruh itu? Mereka pasti tidak menerima gaji," kata Syamsul.

Makan mie instant itu juga membuat Hasan pandai berhitung. Satu tambah satu sama dengan dua. Dua tambah dua sama dengan empat. Dua kali satu, ya, sama dengan dua. Cuma, kata Hasan, kalau makan sebungkus mie instant maka di dalam perut jumlahnya bertambah dan membesar. Ini akibat pengelolaan yang sistematis yang dilakukan usus besar, usus kecil, dan lambung. Walaupun menyukai mie instant, keluarga ini tidak memandang Tuhan secara instant. Mereka terkadang merumit-rumitkan bahasa dan petunjuk Tuhan melalui para nabi atau pemuka agama. Misalnya mengenai haram atau tidaknya mie instant yang dibuat pabrik yang tidak pernah melakukan ritual pemujaan
kepada Tuhan. Mereka terkadang mencoba menghubungkan bentuk, warna bungkusnya, tulisan, serta aroma setiap mie instant dengan nilai-nilai yang terkandung dalam ajaran agama. Tetapi kerumitan itu selalu berhenti setiap kali pemilik pabrik mie instant melakukan pembelaan.

"Kami memang tidak menggunakan nama Tuhan dalam membuat mie instant ini. Kami hanya menekan tombol dan memerintahkan beberapa orang bekerja secara baik. Tapi kami percaya pekerjaan ini direstui Tuhan dan halal. Sebab niat kami membuat mie ini sangat baik, bukan untuk menyusahkan orang lain. Kalau tidak percaya, tanyakan sama Tuhan," kata si pemilik pabrik mie instant kepada seorang wartawan yang kemudian meminta ongkos pulang karena biaya transportasi dari kantornya tidak mencukupi. "Saya akan menulis mie instant produksi pabrik bapak atas nama Tuhan," kata si wartawan.

Hasan termenung saat menelan mie instant goreng, siang ini. Dia bertanya apakah di Kutub Utara ada manusia yang makan mie instant. Baginya pertanyaan itu sangat penting. Sebab seandainya tidak ada manusia yang makan mie instant di Kutub Utara, berarti kesadaran membantu para buruh pabrik mie instant belum berjalan secara baik. Hasan kemudian memiliki gagasan membentuk lembaga advokasi mie instant. Tujuannya cuma satu: mengajak semua manusia makan mie instant sehingga derajat kesejahteraan kaum buruh pabrik mie instant naik.

Besoknya bersama Syamsul dan Imron, Hasan membentuk sebuah yayasan yang bernama Komite Mie Instant untuk Keadilan Buruh. Wilayah kerjanya mengadvokasi semua yang berhubungan dengan mie instant. Yayasan ini kemudian mendapat dukungan banyak pihak. Terutama dari donatur negara-negara Barat, yang memang mencanangkan peradaban manusia harus memasuki era instant. Segala ritual makan selama ini, yang dikondisikan
tradisi feodalisme, sangat tidak efisien sehingga dapat mengurangi semangat berpikir yang cepat dan taktis. Pada tahun pertama bekerja yayasan ini menerima sumbangan sebesar 500 ribu dolar.

Program kerja yang dilakukan antara lain mengadakan pesta mie instant di setiap komunitas miskin kota, parlemen, serta aparat keamanan dan pertahanan. Kemudian menjelaskan kepada publik bagaimana penting dan bergunanya mie instant bagi kehidupan manusia. Apabila ada pelarangan makan mie instant di dalam keluarga dengan alasan apa pun, yayasan tersebut mengadvokasinya sebagai tindak kekerasan atas hak asasi dalam menentukan selera.
***

Seratus lima puluh lima tahun kemudian. Keluarga mie instant memenangkan lomba mewarnai mie. Saat itu jenderal-jenderal sangat tertarik dengan kompetisi mewarnai mie. Sebab menurut mereka, secara ideologis, mewarnai mie itu memberikan semacam kesadaran untuk bersatu, menjunjung keadilan, disiplin, dan berpihak pada rakyat. "Marilah kita mensyukuri nikmatnya mie instant. Kalau tidak ada mie instant, mungkin biaya perang negara ini sangat tinggi. Berkat mie instant setiap prajurit selalu siap di medan tempur. Sudah sepantasnya kita mengucapkan terima kasih kepada pabrik-pabrik mie instant yang bekerja selama ini. Dan, tak lupa kepada para buruhnya," kata seorang jenderal seusai perlombaan mewarnai mie.

Tak jauh dari itu, sebuah keluarga yang selalu diburu-buru ideologi pasar. Berusaha dengan sekuat tenaga untuk mengumpulkan ratusan cacing tanah. Cacing-cacing itu mau mereka buat menjadi tiruan mie instant. Kalau sudah siap makan mie instant mereka baru mau menerima ideologi pasar. Cacing-cacing itu mereka masukan ke dalam kulkas. Pada suhu -15 derajat celcius, ibu membuat bumbunya. Sementara ayah menonton sepakbola yang disponsori sebuah perusahaan mie instant. Tiga anak yang kecerdasannya mengalami penurunan akibat trauma akan pasar, merangkak dan mengintip kedinginan cacing-cacing di dalam kulkas. "Hei! Kalian jangan terlalu dekat. Mereka memiliki kamera yang akan merekam nafas dan pikiran kalian. Cepat pergi," kata si ibu.

Ketiga anak itu kembali ke kamar. Menghitung jumlah iklan dan mengkoleksi dada dan paha indah dalam imajinasi.Ibu berteriak: Makan! Ayah dan ketiga anaknya melompat ke meja makan. Ibu dengan kelenturan tubuhnya menari-nari sambil membawa lima piring cacing. Giginya yang kuning akibat terlalu banyak merokok terlalu lama dilihatkan. "Mari makan." Tak ada yang menggemparkan.

Tiba-tiba waktu bergerak mundur. Seratus lima puluh lima tahun, delapan bulan dua hari, tiga jam, dua menit, lima belas detik : Saya melahap sepiring mie instant. Indonesia erkibar sebagai KTP dalam perjalanan pulang ke kamar tidur. "Maafkan aku Ibu Pertiwi, aku simpankan KTP ke dalam asbak rokok." Tak ada yang mengaku merdeka. Tukang koran sahabatku cuma berteriak bahwa dua puluh tahun ke depan koran tidak dijual, koran dibagi secara gratis, dan mie instant tetap dijual.

Dulu, saat saya masih ikut pramuka. Mie instant merupakan barang haram. Sebab karena mie instant banyak anggota pramuka yang malas memasak. Kini, saat saya benci pramuka, gubernur menyumbang mie instant buat para pramuka yang mengadakan perkemahan. Dan, dulu maupun kini, buruh pabrik mie instant tetap sebagai baut yang sewaktu-waktu dibuang sebagai gadis tanpa suami, pekerja seks, maupun janda yang membuka warung rokok di terminal.

Yayasan Komite Mie Instant untuk Keadilan Buruh tersentak. Wajahnya beringas bagai seorang tentara yang merasa dilecehkan sopir angkot. Dia menampar dan menerjang semua file kampanye dan advokasi yang sudah dilakukan.
***
Sebuah keluarga dengan satu rumah, satu televisi, satu komputer plus internet, sangat menyukai mie instant. Ayah, ibu, dan anak setiap hari makan mie instant. Tapi yang dibuang pun relatif sama. Seragam. Perbedaan cuma tercermin dari komposisi warna. Sebab untuk beberapa hal, ayah, ibu, dan anak ini juga memiliki selera khusus saat mengkonsumsi minuman instant. Ayah suka pepsi, ibu suka coca-cola, dan anak suka mencampur pepsi dengan vodka. Tak ada yang mereka takutkan. Kecuali adanya kebijakan pemerintah untuk menghentikan pabrik-pabrik mie instant berhenti berproduksi.

Di luar angin membelit awan. Yayasan Komite Mie Instant untuk Keadilan Buruh masih bergerak di jalan-jalan. Mereka berharap ada wartawan yang terlibat sehingga dana kampanye bisa dibagi rata. Negara cukup memelihara yayasan ini. Aman. Amin.



< Back >